KETIKA pemerintah memperkenalkan Menu Rahmah dengan harga RM5 ke bawah untuk keluarga atau individu yang kesulitan membeli barang dengan harga murah, masih ada pedagang kreatif yang mempertaruhkan konsep hidangan desa dengan harga surgawi.
Menggunakan peralatan seperti gelas, piring, dan baki dari tahun 1950-an hingga awal 1970-an begitu menarik sehingga pelanggan rela membayar harga yang menggelikan.
Ternyata ide para pedagang itu diterima dengan baik dan siapa sangka grup B40 juga ‘macet’ karena semua itu adalah kenangan yang tidak bisa terulang kembali.
Kami juga tidak bisa memungkiri pengalaman para dealer yang lebih banyak bertransaksi dan mengetahui kebutuhan pelanggan saat ini.
Semua itu adalah hasil dari pencarian mereka yang tak kenal lelah akan konsep-konsep bisnis yang di luar kebiasaan demi keberlangsungan bisnis.
Sebagian dari mereka mungkin mengeluarkan uang untuk membeli peralatan saji yang kini bisa mencapai ratusan ringgit termasuk sendok, garpu dan wadah nasi.
Di zaman teknologi yang dipenuhi dengan bangunan batu, banyak orang mencari terasering yang indah di tepi sawah, pangkin kecil di bawah pohon dan hutan rimbun di tepi sungai untuk bersantai bersama keluarga.
Ya, tak bisa dipungkiri kenikmatan makan di rumah berdinding bambu, tangga kayu, dan beratap seng dengan semilir bahasa.
Ada yang heboh makan bersimpu dan bersila dan menunya tentu saja tamoyak, cencaluk dan budu dengan lauknya.
Itulah nikmat yang dicari pelanggan untuk melupakan sejenak kesibukan pekerjaan, apalagi setelah penat bekerja di kota.
KISAH LALU
Sambil bersantai dan menikmati makanan, kita bisa bercerita tentang indahnya lari di sawah atau perkebunan karet. Itu pasti cerita masa lalu yang panjang.
Yang paling epic juga disediakan kendi untuk cuci tangan, gayung dan pot untuk cuci kaki atau mangkok untuk menyajikan makanan.
Karena itu, mereka rela ‘menutup mata’ dan mengeluarkan uang dari kantongnya untuk membeli makanan mahal.
Ada juga pelanggan yang ingin bernostalgia masa kecil bersama keluarga atau merayakan hari spesial dengan berbagi kehidupan masa lalu bersama anak-anaknya.
Mungkin ada sebagian dari kita yang menganggap tidak masuk akal harga menu seperti sayur lemak masak mencapai RM10 hingga RM15 per piring sedangkan ikan selangor goreng bodo harganya sama dengan burger cepat saji yang populer.
Namun, itulah faktanya masih ada orang yang rela membayar ‘suasana’ tersebut karena ingin lepas dari kehidupan sehari-hari, terutama ketegangan pekerjaan.
Menu dan suasana kampung juga menular dan secara tidak langsung dapat membantu mempromosikan restoran atau kafe tersebut.
Secara tidak langsung kita bisa mempopulerkan sayur putih atau kolok, nasi sambal masak lemak, sayur tempoyak hijau atau daging asap kepada wisatawan.
Lantas, mengapa pemerintah memasukkan restoran seperti ini dalam kalender pariwisata nasional karena sekaligus bisa memperkenalkan menu asli desa-desa di negeri ini.
Namun bagi kita yang tidak mampu, bisa saja memilih Menu Rahmah karena ada juga yang menyiapkan masakan kampung.
Kita bisa mengemas makanan dan piknik di lokasi yang memiliki suasana yang sama.
Terdengar lucu tapi faktanya kita bisa ‘menghemat’ kantong dan tetap bisa menikmati alam yang indah tanpa harus kehabisan.
Menu Rahmah, yang diperkenalkan pada 31 Januari, tersedia di lebih dari 15.000 tempat di seluruh negeri. Ada peningkatan dari para pedagang karena mereka juga ingin menarik pelanggan dan sekaligus menghindari kerugian.
Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Biaya Hidup, Datuk Seri Salahuddin Ayub sebelumnya mengatakan bahwa meskipun ada anggapan bahwa menu tersebut berkualitas buruk karena harganya hanya RM5, namun tetap menarik orang untuk mengunjungi tempat yang menyediakan menu tersebut.
Menteri juga menginformasikan bahwa menu tersebut bukan merupakan rangkaian dari Menu Anggaran sebelumnya.
Jadi bagi kita yang tidak mampu bisa membeli Rahmah Menu dan menciptakan suasana, bagi yang berkantong penuh bisa tetap menikmati menu kampung dengan membayar suasananya.
*Aswany Omar adalah reporter Sinar Harian Kelantan