SETIAP pulang ke kampung halaman, warung Pak Mat tetap menjadi sarapan pagi di pelabuhan Merak Jalanan. Usai sholat subuh di masjid, warung Pak Mat menjadi persinggahan bersama beberapa teman lainnya.
Begitu sampai di warung tersebut, Merak Jalanan melihat bahwa sebagian besar pelanggannya adalah orang tua yang mendekati akhir hayat. Beberapa pensiunan baru memilih kampung halaman sebagai tempat menghabiskan sisa hidup mereka.
Ada tiga teman berusia 40-an hingga 50-an yang datang lebih awal. Merak Jalanan Tidak Dikenal, mungkin orang luar. Teman-teman lain juga mengatakan mereka belum pernah melihat ketiga orang itu sebelumnya. Kami pun menyapa. Kemudian Merak Jalanan bersama teman-temannya duduk di meja sebelah dan mengobrol.
Pembicaraan dengan ketiga sahabat itu lebih banyak tentang bisnis. Mereka mengatakan bahwa mereka mengenal menteri, menteri ini. hingga kisah proyek multi-juta ringgit termasuk yang sedang melobi. Sesekali diselingi cerita politik.
Sembari mengobrol ria, salah satu temannya sambil bercanda berbisik ke Merak Jalanan, “Sebentar lagi kita makan freelah (gratis), pengusaha itu pasti sedang menghambur-hamburkan uang karena punya banyak proyek bernilai jutaan.”
Setelah mengobrol lama, ketiga sahabat itu ingin pergi karena ada urusan lain, jadi mereka naik ke meja pembayaran. Masing-masing membayar dan meninggalkan kios dengan mobil mewah.
“Pak Mat, dia yang bayar semuanya?” tanya salah satu teman Merak Jalanan sambil menunjuk makanan di meja kami yang sudah habis dimakan.
“Ngapain bayar, dia juga bayar orang asing,” kata Pak Mat. Terlebih lagi, kami semua tertawa terbahak-bahak. Saya tidak akan berbicara tentang proyek-proyek besar, tetapi waktu untuk membayar harus dibayar secara individual.
Merak jalanan tidak ada proyek sejuta rupiah, tapi tidak ada masalah belanja teman-teman. Tidak mahal juga.